Belanda vs Turki
Belanda vs Turki
---
Belanda atawa Nederland, finalis Piala Dunia 2010, sesungguhnya sering
diejek sebagai kesebelasan anak-anak keju oleh musuh bebuyutannya;
Jerman dan Perancis. Anak-anak keju adalah ejekan yang bermakna
bocah-bocah lembek. Ejekan yang selalu muncul saat perang antar suporter
kedua kesebelasan. Sejak kapan ejekan ini muncul? Saya tak tahu asbabul
wurudnya. Tampaknya ada kesinambungan dengan sejarah ketiga negara ini.
Kerajaan Belanda pernah dijungkalkan Napoleon di abad 19. Kemudian
Belanda menjadi sansak tak bergerak pasukan Nazi Jerman, hingga Ratunya
harus mengungsi ke Inggris. Herannya, jika di Eropa sana Belanda jadi
bulan-bulanan, mengapa di Nusantara bisa berkuasa lebih dari tiga abad?
Itu pertanyaan yang butuh jawaban bersifat permenenungan, saya kira.
Lalu apa maksud tulisan ini? Kita cermati polarisasi pemain di timnas
Belanda. Ada pluralitas di dalam tim yang dirawat dari generasi ke
generasi: bule bermata biru seperti Arjen Robben & Dirk Kuyt,
keturunan Afrika seperti Patrick Kluivert, blasteran macam Ruud Gullit,
dari wilayah protektorat kayak Clarence Seedorf, anak imigran seperti
Khaled Bolahrouz dan Ibrahim Affelay, dlsb.
Sebenarnya ini
persis realitas yang diterapkan oleh Londho saat menjajah; rekrut tenaga
pribumi, satukan, ikat, pergunakan sebaiknya. Puncaknya strategi adu
domba karena ongkosnya murah dan irit.
Dinihari tadi timnas
Belanda menghadapi Turki. Ini sejarah yang berulang meski di lapangan
hijau. Beberapa abad silam, kedua negara ini baku bunuh, langsung maupun
tidak. Saat Belanda mencapai selat Malaka dan berusaha mengangkangi
perdagangan di Timur Nusantara, Kesultanan Aceh meminta bantuan Sultan
Turki. Wujudnya: ratusan marinir Turki Usmani mendarat di Aceh. Sebagian
besar pasukan kemudian mendarmabaktikan hidupnya di Aceh hingga
beranakpinak. Konon, pria-wanita rupawan berhidung mancung bermata biru
yang menjadi penduduk Lhamno adalah anak cucu dari marinir Turki ini.
Versi lain; keturunan Portugis! Kebenarannya? Allahu A'lam.
Di
Jawa, Belanda dan Turki juga bertarung, meski tidak secara langsung.
Perang Diponegoro adalah buktinya. Sang pangeran meminta legitimasi
kekuasaan kepada Sultan Turki hingga kemudian memakai gelar Amirul
Mukminin Herucokro Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ing Tanah Jawi.
Lebih dahsyat, dalam hal penggunaan taktik, formasi tempur, hingga
hierarki militer beserta gelarnya, Pangeran Diponegoro mengadopsi sistem
Turki. Mulai gelar "Pasya"/"Basa" bagi panglima perang, pasukan khusus
pengawal sang pangeran bernama Burjumungah diilhami dari
Arkio-Bulkio-nya Turki, hingga pataka dan warna warni sorban & jubah
juga dipengaruhi corak Turki.
Siapa yang mempengaruhi
pandangan Pangeran Diponegoro? Namanya Haji Badaruddin. Ia adalah elit
militer di kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Ia pergi haji, kemudian
singgah dan belajar sejenak di Turki. Saat pulang ia membawa sebuah
kitab perang karya Haji Bektasy, pendiri Tarekat Bektasyiyah, tarekat
yang diwajibkan bagi seluruh anggota Janissary, kopassusnya Turki
Usmani. Jika Janissary menggunakan "kurikulum" Tarekat Bektasyiyah, maka
Pangeran Diponegoro dan pasukannya terikat dengan Tarekat Syatthariyah
dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
By. Rijal Pakne Avisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar