Rabu, 16 Oktober 2013

Belanda vs Turki

Belanda vs Turki
---
Belanda atawa Nederland, finalis Piala Dunia 2010, sesungguhnya sering diejek sebagai kesebelasan anak-anak keju oleh musuh bebuyutannya; Jerman dan Perancis. Anak-anak keju adalah ejekan yang bermakna bocah-bocah lembek. Ejekan yang selalu muncul saat perang antar suporter kedua kesebelasan. Sejak kapan ejekan ini muncul? Saya tak tahu asbabul wurudnya. Tampaknya ada kesinambungan dengan sejarah ketiga negara ini. Kerajaan Belanda pernah dijungkalkan Napoleon di abad 19. Kemudian Belanda menjadi sansak tak bergerak pasukan Nazi Jerman, hingga Ratunya harus mengungsi ke Inggris. Herannya, jika di Eropa sana Belanda jadi bulan-bulanan, mengapa di Nusantara bisa berkuasa lebih dari tiga abad?

Itu pertanyaan yang butuh jawaban bersifat permenenungan, saya kira. Lalu apa maksud tulisan ini? Kita cermati polarisasi pemain di timnas Belanda. Ada pluralitas di dalam tim yang dirawat dari generasi ke generasi: bule bermata biru seperti Arjen Robben & Dirk Kuyt, keturunan Afrika seperti Patrick Kluivert, blasteran macam Ruud Gullit, dari wilayah protektorat kayak Clarence Seedorf, anak imigran seperti Khaled Bolahrouz dan Ibrahim Affelay, dlsb.

Sebenarnya ini persis realitas yang diterapkan oleh Londho saat menjajah; rekrut tenaga pribumi, satukan, ikat, pergunakan sebaiknya. Puncaknya strategi adu domba karena ongkosnya murah dan irit.

Dinihari tadi timnas Belanda menghadapi Turki. Ini sejarah yang berulang meski di lapangan hijau. Beberapa abad silam, kedua negara ini baku bunuh, langsung maupun tidak. Saat Belanda mencapai selat Malaka dan berusaha mengangkangi perdagangan di Timur Nusantara, Kesultanan Aceh meminta bantuan Sultan Turki. Wujudnya: ratusan marinir Turki Usmani mendarat di Aceh. Sebagian besar pasukan kemudian mendarmabaktikan hidupnya di Aceh hingga beranakpinak. Konon, pria-wanita rupawan berhidung mancung bermata biru yang menjadi penduduk Lhamno adalah anak cucu dari marinir Turki ini. Versi lain; keturunan Portugis! Kebenarannya? Allahu A'lam.

Di Jawa, Belanda dan Turki juga bertarung, meski tidak secara langsung. Perang Diponegoro adalah buktinya. Sang pangeran meminta legitimasi kekuasaan kepada Sultan Turki hingga kemudian memakai gelar Amirul Mukminin Herucokro Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ing Tanah Jawi. Lebih dahsyat, dalam hal penggunaan taktik, formasi tempur, hingga hierarki militer beserta gelarnya, Pangeran Diponegoro mengadopsi sistem Turki. Mulai gelar "Pasya"/"Basa" bagi panglima perang, pasukan khusus pengawal sang pangeran bernama Burjumungah diilhami dari Arkio-Bulkio-nya Turki, hingga pataka dan warna warni sorban & jubah juga dipengaruhi corak Turki.

Siapa yang mempengaruhi pandangan Pangeran Diponegoro? Namanya Haji Badaruddin. Ia adalah elit militer di kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Ia pergi haji, kemudian singgah dan belajar sejenak di Turki. Saat pulang ia membawa sebuah kitab perang karya Haji Bektasy, pendiri Tarekat Bektasyiyah, tarekat yang diwajibkan bagi seluruh anggota Janissary, kopassusnya Turki Usmani. Jika Janissary menggunakan "kurikulum" Tarekat Bektasyiyah, maka Pangeran Diponegoro dan pasukannya terikat dengan Tarekat Syatthariyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. 
By. Rijal Pakne Avisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar