Selasa, 30 Juni 2015
Selasa, 16 Juni 2015
Mendidik anak ala Rasulullah Saw oleh Prof.DR. M Quraish Shihab
Pakar-pakar pendidikan di Indonesia menilai bahwa salah satu sebab utama kegagalan pendidikan kita karena para pendidiknya yang gagal. Padahal, salah satu syarat mutlak untuk keberhasilan pendidikan adalah dipilihnya pendidik yang baik. Nah, Rasulullah adalah suri tauladan yang terbaik, karenanya mari kita berkaca dari sepercik cara mendidik anak ala beliau.
Kita dalam hal ini berada dalam lingkaran setan, anak didik tidak berkualitas ternyata karena gurunya yang kurang bermutu, akhirnya pendidikannya gagal. Memang salah satu syarat mutlak untuk keberhasilan pendidikan adalah dipilihnya pendidik yang baik, yang sebelumnya perlu dididik pula. Sebenarnya kalau melihat ke sejarah Nabi, problema ini baru terselesaikan karena Allah Swt. turun tangan.
Anak didik dibentuk oleh empat faktor.
Pertama, ayah yang berperan utama dalam membentuk kepribadian anak. Bahkan, dalam Al-Quran hampir semua ayat yang berbicara tentang pendidikan anak, yang berperan adalah ayah.
Kedua, yang membentuk kepribadiannya juga adalah ibu;
ketiga, apa yang dibacanya (ilmu); dan
keempat, lingkungan.
Kalau ini baik, anak bisa baik, juga sebaliknya. Begitu pula baik-buruk kadar pendidikan kita.
Empat faktor ini belum tentu semuanya terwujud. Ketika Allah Swt. menetapkan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, maka yang membentuk kepribadiannya adalah Allah Swt. Sebab, bila diserahkan kepada masyarakat atau keluarga, maka ia tidak akan sempurna, bisa jadi keliru. Dalam hal ini, Tuhan yang melakukan, sedangkan masyarakat atau keluarga diberi peranan yang sangat sedikit. Itu sebabnya bila telah selesai peranan ayah, maka dia diambil-Nya meninggal dunia. Ini karena Tuhan tidak mau beliau dididik bapaknya. Begitu lahir dibawa ke desa dan ketika usia remaja baru ketemu ibunya. Namun, ibunya pun kemudian diambil-Nya. Selain itu, beliau lahir di lingkungan dengan gaya hidup yang terbelakang, bahkan hampir tidak tersentuh oleh peradaban. Padahal, waktu itu Mesir, Persia, dan India semunya sudah maju. Dalam hal ini, Allah Swt. ingin mendidik langsung beliau untuk menjadi pendidik, yakni figur yang diteladani bagaimana seharusnya mendidik. Itu sebabnya beliau bersabda, Addabanî Rabbî fa Ahsana Ta’dîbi (”Yang mendidik saya itu adalah Tuhan”). Juga, Bu’itstu Mu’alliman (”Saya diutus-Nya menjadi pengajar, pendidik”).
Kita ambil beberapa inti dari kisah hidup Rasulullah Saw. Beliau bersabda, “Bila ingin anak yang membawa namamu itu tumbuh berkembang dengan baik, maka pilih-pilihlah tempat kamu meletakkan spermamu, karena gen itu menurun”. Jadi, sebelum anak lahir kita harus memilih hal yang baik, karena gen ini mempengaruhi keturunan. Pakar pendidikan mengakui bahwa ada faktor genetik dan pendidikan. Walaupun mereka berbeda pendapat yang mana lebih dominan, namun yang jelas keduanya punya pengaruh. Penulis pribadi cenderung berpendapat yang lebih dominan itu sebenarnya pada pendidikan, bukan sperma (gen). Sebagai analogi, bila kita lagi sumpek, masakan kita bisa tidak enak. Di sini ada pengaruh dari emosi dan sikap pada saat membuat suatu masakan. Jadi, bila ingin anak yang baik, maka harus ditanamkan perasaan yang enak, harmonis, dan penuh keagamaan sewaktu memproduksinya. Ini berpengaruh kepada jabang bayi. Ketika membuatnya dalam situasi ketakutan, maka anaknya pun akan menjadi penakut. Anak yang lahir di luar nikah itu berbeda dengan anak yang lahir dari hubungan yang sah. Karena semua orang sadar dalam hati bahwa perzinahan itu buruk, maka hal ini nantinya dapat berpengaruh terhadap anak. Karena itu pula, Nabi Saw. memerintahkan untuk memilih tempat-tempat yang baik saat menanamkan sperma kita dan dianjurkan sebelumnya untuk membaca doa dan tidak dihantui rasa takut atau cemas.
Di dalam Al-Quran diterangkan, Nisâukum hartsun lakum (Isteri kamu adalah ladang buatmu). Di sini Al-Quran mengumpamakan suami sebagai “petani” dan isteri sebagai “ladang”. Kalau petani menanam tomat, apakah apel yang tumbuh? Siapa yang salah, bila si suami menghendaki anak laki-laki namun yang lahir perempuan, petani atau ladangnya? Tentu petani. Setelah ditanam, semestinya benih itu dipelihara. Bila ada hama, maka perlu dipupuk, disirami, dan dipelihara dengan baik. Setelah ada hasilnya, maka perlu dicuci dulu bila ingin dimakan. Dan bila ingin dijual, juga dibersihkan dulu dan dikemas sedemikian rupa agar dapat bermanfaat. Ini sebenarnya pelajaran dalam Al-Quran. Agar buah yang lahir dari kehidupan suami-isteri ini bisa membawa manfaat sebanyak mungkin, maka harus memperhatikan sang isteri (ibu). Dari sini, sekian banyak anjuran untuk memberikan makanan yang bergizi bagi seorang ibu. Di masa Nabi Saw, buah yang paling banyak adalah kurma. Kurma itu memiliki vitamin dan karbohidrat yang tinggi. Nabi Saw. berkata, “Isteri-isteri kamu yang sedang hamil, maka berilah ia kurma agar supaya anaknya lahir sehat dan gagah”.
Hal di atas menunjukkan bahwa jauh sebelum anak dilahirkan, ternyata Islam telah memiliki landasan dan tempat berpijak. Lalu, apa yang perlu diperankan orang tua sekarang?
Pertama, satu hal yang perlu digarisbawahi, begitu seorang anak lahir, Islam mengajarkan untuk diadzankan. Walaupun anak itu belum mendengar dan melihat, tapi ini memiliki makna psiko-keagamaan pada pertumbuhan jiwanya. Anak yang baru beberapa hari lahir, kalau ia ketawa, anda jangan menduga bahwa ia ketawa karena atau dengan ibunya, tapi karena ia merasakan kehadiran seseorang. Para pakar mengatakan demikian, karena ada orang yang lahir buta tetap tersenyum saat ibu mendekatinya. Jadi, seorang bayi memiliki rasa pada saat mendengar adzan, juga memiliki jiwa yang bisa berhubungan dengan sekelilingnya. Karena itu, adzan menjadi kalimat pertama yang diucapkan kepadanya. Dan, karena saat membacakan adzan seorang muadzin berhubungan dengan Tuhan, maka inilah yang memberikan dampak bagi perkembangan anak ke depan.
Kedua, sampai umur tujuh hari, kelahiran anak perlu disyukuri (’aqiqah). Kalau begitu, jangan sampai terbetik dalam pikiran ibu/bapak merasa tidak mau atau tidak membutuhkannya, karena saat itu sang anak sudah punya perasaan dan harus disambut dengan penuh syukur (’aqiqah). Misal, ada orang yang mengharapkan anak laki-laki, namun kemudian lahir anak perempuan, akhirnya ia kecewa serta tidak menerima dan menyukurinya. Semestinya perlu disyukuri, baik laki-laki maupun perempuan.
Ketiga, setelah ‘aqiqah, sang anak baru diberi nama yang terbaik karena dalam hadis disebutkan, “Di hari kemudian nanti orang-orang itu akan dipanggil dengan namanya”. Dalam hadis lain dijelaskan, “Nama itu adalah doa dan nama itu bisa membawa pada sifat anak kemudian”. Jadi, pilihlah nama yang baik untuknya.
Nama itu adalah sebuah doa yang menyandangnya. Ada ilustrasi, sebelum perang Badar (2 H.). berkecamuk, ada duel perorangan antara kaum muslim dan musyrik. Ali, Hamzah, dan ‘Ubaidah dari pihak kaum muslim, sedangkan dari pihak kaum musyrik yaitu ‘Utbah, Al-Walid dan Syaibah. Ali (yang tinggi) melawan Utbah (orang yang kecil). Hamzah (singa) berhadapan dengan Syaibah (orang tua). Al-Walid (anak kecil) berhadapan dengan ‘Ubaidah (hamba yang masih kecil). Bisa dibayangkan, bagaimana kalau orang yang tinggi besar berhadapan dengan anak kecil atau orang yang dijuluki “singa” dengan orang tua, siapa yang menang? Yang terjadi, Ali dan Hamzah berhasil membunuh lawannya, sedangkan Ubaidah dan al-Walid tidak ada yang terbunuh hanya keduanya terluka.
Nabi Saw. dipilihkan oleh Allah semua nama yang baik dan sesuai, karena ia adalah doa bagi yang menyandangnya. Misal, Nabi memiliki ibu bernama Aminah (yang memberi rasa aman) dan ayahnya Abdullah (hamba Allah). Yang membantu melahirkan Nabi namanya As-Syaffa (yang memberikan kesehatan dan kesempurnaan). Yang menyusuinya adalah Halimah (perempuan yang lapang dada), jadi Nabi dibesarkan oleh kelapangan dada. Anjuran untuk memilih nama yang mengandung doa juga dimaksudkan agar jangan sampai menimbulkan rasa rendah diri pada sang anak.
Keempat, mendidik anak bagi Nabi Saw. adalah menumbuhkembangkan kepribadian sang anak dengan memberikan kehormatan kepadanya, sehingga beliau sangat menghormati anak-cucunya. Bila memang sejak kecil ia sudah memiliki perasaan, maka jangan sampai ada perlakuan yang menjadikannya merasa terhina. Allah merahmati seseorang yang membantu anaknya untuk berbakti kepada orang tuanya. Nabi Saw. pernah ditanya, “Bagaimana seseorang membantu anaknya supaya ia berbakti?”, Nabi berkata: “Janganlah ia dibebani (hal) yang melebihi kemampuannya, memakinya, menakut-nakutinya, dan menghinanya”.
Ada sebuah riwayat, seorang anak lelaki digendong oleh Nabi dan anak itu pipis, lantas ibunya langsung merebut anaknya itu dengan kasar. Nabi kemudian bersabda, “Hai, bajuku ini bisa dibersihkan oleh air, tetapi hati seorang anak siapa yang bisa membersihkan”. Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi berkata, “Jangan, biarkan ia kencing”. Dari hal ini, muncul ketentuan, bila anak laki-laki kencing cukup dibasuh, sedangkan bila anak perempuan dicuci dengan sabun. Riwayat tadi memberi pelajaran bahwa sikap kasar terhadap seorang anak dapat mempengaruhi jiwanya sampai kelak ia dewasa.
Namun sisi lain, ada satu hal di mana Nabi sangat hati-hati dalam persoalan anak. Ketika Nabi lagi di masjid, ada orang yang kirim kurma, kemudian cucunya datang dan mengambil sebuah kurma lalu dimakannya. Nabi bertanya kepada ibunya, “Ini anak tadi mengambil kurma dari mana?” Sampai akhirnya, dipanggilnya Saidina Hasan dan dicongkel kurma dari mulutnya. Ini maknanya apa? Nabi tidak mau anak cucunya itu memakan sesuatu yang haram, walaupun ia masih kecil dan tidak ada dosa baginya, karena itu akan memberikan pengaruh kepadanya kelak ia besar.
Ada cerita dari pengalaman seorang ibu yang pendidikannya hanya sampai SD dan memiliki 13 anak, tetapi semuanya berhasil. Suatu ketika, ada orang yang bertanya kepada si ibu itu, “Doa apa yang dipakai ibu sehingga semuanya berhasil?” Jawabnya, “Saya dan suami saya tidak banyak berdoa. Tapi, bila anak saya bersalah atau saya tidak senang perbuatannya, saya selalu berkata, “Mudah-mudahan Tuhan memberimu petunjuk”. Jadi, anak ini tidak dimaki, dikutuk, atau dimarahi. Dan, kami kedua orang tuanya tidak pernah memberi makan mereka dengan makanan yang haram”.
Kamis, 12 Maret 2015
MENGGAPAI HIDUP BAHAGIA
Siapapun dan apapun jabatan kita, berapapun harta yang kita miliki, di manapun kita berada, sesungguhnya capaian puncak kehidupan adalah kebahagiaan. Siapapun orangnya itulah yang dicari. Bahwa mungkin melalui kekayaan, melalui kedudukan, melalui kesejahteraan, tetapi ending pointnya adalah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kesenangan batin yang bersifat permanen, dan relative dalam jangka panjang. Kebahagiaan adalah sesuatu yang membuat orang serba nyaman dalam menjalani kehidupan. Apakah kaya, atau miskin, apakah dia punya jabatan atau tidak, mereka yang berbahagia, pastilah dia enjoy, rileks, tenang, senang, nyaman dan merasa aman dalam menjalani hidup ini. Dengan demikian bagi orang yang beriman tentu ibadahnya semakin bagus. Akan sangat berbeda orang yang sama-sama beriman bahagia dengan yang tidak, kualitas ibadahnya berbeda. Yang tidak bahagia dalam menjalani ibadah mungkin hanya sekedar atau cuma ikut-ikutan, sehingga terasa kering kehidupannya. Sedang yang bahagia tentu akan mengarah kepada kualitas lebih baik.
Pada awal bulan Maret kemaren lembaga survey dari Canada mengadakan penelitian. Lembaga ini adalah lembaga survey internasional yang diakui kredibilitasnya. Dia mengadakan survey terhadap penduduk di 24 negara. Dengan responden sekitar 18 ribu orang. Lembaga ini ingin mengetahui negara mana yang penduduknya merasa paling bahagia. Dan hasilnya sangat mengejutkan. Karena lembaga ini menyimpulkan, bahwa bangsa yang paling bahagia di dunia ini adalah bangsa Indonesia. Yang lebih mengejutkan lagi, di samping rankingnya nomor satu, nilainya di atas 60%. Ranking kedua India, tetapi di bawah 50%. Ranking ketiga, Meksiko, 40%. Sedang ranking paling bawah adalah Hongaria. Ranking dua dari bawah adalah Korea Selatan. Dan yang amat mencengangkan adalah negera Amerika, Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Jepang, termasuk negara-negara yang tidak bahagia, yang prosentasenya di bawah 10%. Padahal kita ketahui bahwa kita bangsa Indonesia mengagumi mereka, meniru mereka, membangga-mbanggakan mereka. Apa yang dia katakanya dan diperbuat, kita tiru agar kita juga dikatakan maju dan modern. Kita merasa bangga kalau sudah meniru apa yang mereka perbuat. Sampai-sampai mereka memakai pakaian nggembel juga ditiru. Padahal dengan survey itu membuktikan, bahwa mereka yang kaya materi, pada umumnya tidak merasa bahagia. Karena pada umumnya orang kaya itu merasa kurang, bahkan di negara-negara yang kaya, banyak kasus bunuh diri. Dan tentu kita tahu, bahwa orang yang bunuh diri itu tentu susah, gelisah, artinya tidak bahagia. Di Jepang banyak kasus bunuh diri. Bahkan di negara Korea, ada seorang pemilik pabrik mobil mati bunuh diri. Di Amerika pernah ada survey membuktikan bahwa angka kematian di sana pernah mencapai 36 persen bunuh diri, jadi kalau ada orang mati sebanyak 100 orang, yang 36 orang mati dengan cara bunuh diri.
Dari survey itu ternyata, rata-rata yang mengaku bahagia adalah orang yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Atau bisa dikatakan orang miskin. Begitu juga di negara lain. Kita patut bersyukur kepada Allah SWT, di mana negara yang mayoritas penduduknya Islam ini, bahkan komunitas muslim terbesar di dunia ini adalah yang paling bahagia. Apapun, dan bagaimanapun yang terjadi dalam kehidupan. Yang jelas, bahagia atau tidak, indikasinya bukan jabatan, bukan kekayaan, tetapi sikap hidup. Oleh karena itu, marilah kita perbaiki, kita evaluasi, sikap hidup kita, supaya bisa merasa bahagia. Karena itulah yang sesungguhnya kita cari dalam hidup ini. Yang ideal kaya dan bahagia, tetapi yang seperti ini tidak banyak. Kalau bisa jangan miskin tidak bahagia. Islam tidak menganjurkan miskin atau kaya, tetapi Islam menganjurkan berbagi (ith’aamul miskiin).
Setelah saya telisik, saya renungkan terhadap hasil survey tersebut, saya menemukan dua poin yang menjadi bangsa Indonesia bahagia.
Pertama, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini punya karakter sosial Qanaah (menerima apa adanya). Umumnya orang Indonesia qanaah, tidak gampang mengeluh, nriman, seleh,apapun yang terjadi. Sehingga apapun yang terjadi jika itu sudah terjadi, maka diterima dengan rela. Mengapa bisa menerima? Karena bertaqwa, berTuhan, mempunyai kesadaran agama. Untuk itu, saya mengajak untuk bisa mempunyai karakter seperti ini. Contoh simpelnya, jika suatu saat kita tidak punya uang, maka jika kita menerima atau tidak menerima, tetap tidak punya uang. Karena sama-sama tidak mempunyai uang, maka akan menguntungkan jika bersikap menerima dengan lapang dada, kemudian berusaha, daripada berkeluh kesah, sambat, ngresulo, yang ujungnya akan meyiksa diri sendiri. Memang tetap tidak punya uang, tetapi hati ini akan ridho, lapang, legowo. Dan inilah yang dinamakan hati yang bahagia. Begitu juga jika pada suatu saat terkena musibah, sakit dlsb. Jadi menanamkan jiwa qanaah (menerima apa adanya) dalam kondisi menyenangkan atau tidak menyenangkan, hendaknya diterima.
Kedua, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini punya karakter sosial Syukur. Bahkan ada anekdot, kalau ada orang kakinya terantuk kerikil, dia katakana : “Alhamdulillah hanya terantuk”. Kalau kemudian berdarah dia masih mengatakan : “Alhamdulillah hanya berdarah”. Kalau kemudian menjadi luka, dia masih juga mengatakan : “Alhamdulillah hanya luka”. Kalau dia jatuh kemudian kakinya patah, dia juga masih mengatakan : “Alhamdulillah hanya patah”. Bahkan sampai parah pun dia masih juga ada kata syukurnya. Walaupun ini cuma anekdot, tetapi ini pantas menjadi karakter bangsa Indonesia. Sikap seperti inilah dalam rangka memupuk rasa syukur, di mana ini merupakan puncak kebahagiaan. Di dunia ini, orang yang paling bahagia adalah orang yang pandai bersyukur. Bukan yang paling tinggi pangkatnya, bukan yang paling banyak hartanya, bukan yang paling ganteng atau cantik. Allah SWT menjanjikan orang yang pandai bersyukur akan ditambah nikmat yang ada padanya. (QS Ibrahim : 7).Yang maknanya : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Dua tahun lalu ada eksperimen di Amerika. Eksperimen ini memperlakukan sebanyak 60 orang penderita sakit jantung dalam stadium yang sama. 60 orang ini dibagi dua. 30 orang pertama, diobati dengan medis murni. Dan 60 kedua disamping diobati dengan medis seperti kelompok pertama, juga diberi tambahan motivasi untuk bersyukur. Artinya diberi pengertian agar mereka bersyukur atas sakit yang diderita. Dikatakan kepada mereka : “Yang anda derita kan jantung, tetapi anggota badan ada kan tidak, seperti mata, telinga, kaki, kepala dll kan tetap sehat, kenapa yang anda ingat hanya yang sakit, sementara anggota badan yang lain yang tidak sakit tidak diingat-ingat? maka dari itu anda perlu bersyukur, coba anda bayangkan jika seluruh anggota badan anda sakit semua”. Jadi, intinya disuruh mengingat-ingat anggota badan yang sehat, agar di lupa akan jantungnya yang sakit. Dan ternyata hasilnya cukup menakjubkan, yang diobati murni medis, yang sembuh hanya 1/3, sedang yang diberi tambahan motivasi yang sembuh lebih 2/3. Dengan demikian sikap mental inilah sesungguhnya bisa menjadikan obat sekaligus pencegah sakit.
Langganan:
Postingan (Atom)